BANTUL – Dulu tamiya sekadar dimainkan. Sekarang bisa menghasilkan cuan. Itulah yang kini dilakukan S Jebby Hanmadatama, pria 41 tahun penghobi tamiya.
Ratusan piala kejuaraan tamiya dipajang di studio yang tak begitu luas. Oleh sang empu sengaja ditata berjajar pada rak memanjang. Piala itu ada yang keemasan, ada juga yang perak.
“Kalau ditotal lebih dari 350 piala. Tetapi tidak sedikit yang rusak saat gempa Bantul 2006 lalu,” terang pria yang akrab disapa Jebby saat ditemui Radar Jogja di Padepokan Gulo Jowo, Padukuhan Ngijo, Bangunharjo, Sewon, Bantul, (14/9). Saat ditemui, Jebby tengah asyik membengkel body tamiya.
Dia menceritakan, kecintaannya terhadap tamiya sejak duduk di bangku SD. Berawal dari kartun tamiya. Ketika itu ditayangkan di TVRI. Kemudian pada era 1990 sampai 2000-an, booming. Tetapi dia sudah mengikuti kejuaraan nasional (kejurnas) tamiya sejak 1998.
Tahun 2017, menjadi momen berkesan Jebby. Dia mendapatkan kejurnas dan memperoleh hadiah pergi ke Jepang untuk mengunjungi langsung pabrik tamiya.
Dari sinilah dia semakin aktif mengikuti berbagai kompetisi di berbagai kota, khususnya kelas nasional. Dia menilai pangsa pasar berbisnis tamiya dan itemnya terbuka lebar. Konsumennya ada dari seluruh dunia.
Tamiya merupakan sebuah merk produk buatan Jepang. Namun secara umum, Tamiya merupakan mini 4 WD. Sensasi bermain tamiya, dirasakan Jebby, layaknya membengkel kendaraan sungguhan. Hanya saja pengerjaannya lebih detail.
Keberhasilan modifikasi tamiya dapat meningkatkan nilai produk. Misalnya, jika harga pasaran satu pack sebesar Rp 75 ribu. Setelah dimodikasi, harganya bisa melambung menjadi Rp 250 ribu. Bahkan untuk kelas tertentu harganya bisa naik berkali lipat. Bisa dibanderol hingga jutaan rupaih. “Apalagi kalau sudah menang pertandingan, nilainya akan semakin mahal. Termasuk itemnya,” ungkapnya.
Bila dulu tamiya hanya digemari anak-anak, saat ini digemari hampir semua kalangan. Dia menceritakan, bahkan dalam sebuah komunitas ditemui penghobi tamiya berusia sepuh, lansia 65 tahun.
Saking cintanya dengan tamiya, Jebby sampai mendirikan Padepokan Gulo Jowo. Yakni tempat belajar dan bermain tamiya. Area lintasannya pun sudah disiapkan. Dia desain khusus.
Jebby menceritakan sempat mendapatkan cemooh. Sebagian orang menilai, tamiya hanyalah mainan. Namun dia justru menunjukkan keberhasilannya melalui kesuksesan yang diraih.
Jebby memutuskan resign lebih dini dari pekerjaannya sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Lalu memilih bekerja mandiri, mengembangkan hobinya ini.
Melalui Padepokan Gulo Jowo, dia ingin mengedukasi, khususnya anak-anak agar mengurangi penggunaan gadget. Di antaranya dengan bermain tamiya sekaligus belajar “mbengkel” tamiya secara langsung.
Ya, dulu bermain tamiya dianggap lebih buruk dari permainan tradisional. Namun berbeda dengan saat ini, bermain di dalam gadget menjadi lebih buruk dibandingkan bermain tamiya. Secara mental, sosial dan keterampilan menjadi lebih berbeda. Walau keduanya jika digeluti dengan serius dapat menghasilkan.
“Pada 2019 lalu tamiya diusulkan dalam PON. Karena pandemi Covid-19, usulan ini tertunda. Mudah-mudahan, ditargetkan 2024 sudah masuk PON,” urainya.
Kini jejak Jebby menurun kepada anaknya bernama Kahya Bagaskara, 16. Hobi bermain tamiya disalurkan dengan mengikuti berbagai kompetisi atau kejuaraan. Belasan piala pun disabet. Piala-piala itu dipajang memenuhi ruangan kamar Kahya. (laz)