JOGJA – Musim mulai beralih dari kemarau ke penghujan. Masyarakat diminta waspada terhadap potensi bencana akibat pancaroba. Namun, aktivis lingkungan menilai bahwa iklim global tengah mengalami krisis.
Anang Ariane, Prakirawan Cuaca Stamet YIA membeberkan hasil pantauannya dari pos hujan kerja sama di wilayah DIJ. Menurut catatan, sampai saat ini wilayah DIJ belum memasuki musim penghujan. “Kami prakirakan akan memasuki awal musim hujan pada dasarian II Oktober nanti,” paparnya saat dihubungi Radar Jogja Minggu (25/9).
Anang menjelaskan, musim penghujan dipengaruhi oleh tiupan angin barat. Namun ia menekankan, peralihan angin harus diwaspadai. “Jelang musim penghujan, yang perlu diwaspadai di antaranya curah hujan yang tinggi,” ungkapnya.
Maka disampaikan imbauan agar masyarakat mengantisipasi potensi bencana. Semisal dengan cara memastikan saluran air tidak tersumbat akibat tumpukan sampah. “Atau memangkas dahan pohon yang dirasa membahayakan saat terjadi angin kencang,” jabarnya.
Terpisah, Koordinator Global Climate Strike Jogja Arami menyebut, bumi sedang tidak baik-baik saja. Planet tempat tinggal manusia ini tengah mengalami krisis. Dia mengaku, beberapa waktu lalu sempat melakukan parade fotografi sebagai aksi protes. Parade membawa 15 foto bencana iklim yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Arami menyebut, Jogja merupakan salah satu kota di Indonesia yang paling aktif menyuarakan isu krisis iklim. Bahkan meski gerakan Global Climate Strike baru dimulai 2019, berbagai gerakan serupa telah diinisiasi dengan nama di Kota Pelajar.
Arami pun menjelaskan, Global Climate Strike merupakan sebuah gerakan global yang dibuat sebagai respons dari Friday for Future. Dimulai sejak 2019, gerakan ini diselenggarakan tiap 20-27 September di berbagai negara di dunia. Bahkan selama pandemi Covid-19, gerakan terus dilakukan dengan berbagai cara, baik online maupun offline dalam skala kecil. “Aksi bertujuan untuk menuntut energi yang berkeadilan tanpa penindasan,” tegasnya. (fat/laz)