MUNGKID – Seiring kenaikan harga kedelai menjadi Rp 13 ribu per kilogram, para perajin terpaksa mengecilkan ukuran tahu. Upaya tersebut dinilai sudah layak ketimbang menaikkan harga tahu maupun tempe. Mengingat banyak masyarakat yang kurang setuju jika harga tahu-tempe ikut naik.
Perajin Tahu di Dusun Mejing IV Anggar Kurniawati menyebut, kenaikan harga kedelai tentu berimbas pada pendapatan yang diperoleh. Terlalu sedikit. Ibaratnya, kata dia, kondisi perekonomian hampir bangkit pasca dua tahun diterpa pandemi, justru ditambah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kedelai.
Dia mengatakan, kenaikan tersebut sudah lama, tapi yang cukup signifikan baru-baru ini. “Sekarang Rp13 ribu per kilogram. Standarnya Rp 11. 500-Rp 11.700 per kilogram. Itu saja sudah mahal banget,” ujar Anggar saat ditemui, Kamis (29/9).
Sebelumnya, satu papan bisa mencapai 50 dan sekarang dijadikan 60 biji. Dia menambahkan, untuk harga tetap sama. Harga per papan pun bervariasi tergantung dari masing-masing perajin dan ukuran papan. Ada yang Rp 20 ribu-Rp 25 ribu.Perubahan ukuran itu, kata dia, dilakukan sejak kenaikan harga kedelai yang meroket. Begitu juga saat kenaikan BBM dan disusul dengan bahan-bahan pokok ikut merangkak naik.
Kendati harga kedelai naik, tapi pasokannya masih aman dan tidak susah didapat. Hanya saja, untuk kedelai dari Amerika Serikat harus mengalami kenaikan biaya transportasi. Mengingat harga solar juga naik. Padahal, semula, untuk pengiriman luar negeri, tidak memberikan biaya transportasi. Karena pembelian kedelai sudah termasuk ongkos kirim.
Sementara itu, perajin tahu di Mejing I Muhanafi menyebut, biasanya dia memproduksi 7-8 kuintal tahu. Sekarang hanya tiga kuintal, mengingat harga kedelai terus mengalami kenaikan. Hanya saja, dia tidak mengurangi ukuran tahu. “Kalau dikurangi, pelanggan pergi. Kalau harga dinaikkan, mereka tidak mau,” keluhnya.
Dia menaikkan harga per papan yang sebelumnya Rp 19 ribu, sekarang Rp 20 ribu. Kenaikan itu tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan.Bahkan, dia yang dulunya memproduksi tahu dengan empat tungku, sekarang hanya digunakan dua tungku. Penonaktifan tersebut, sejak 28 Agustus. Para pekerja pun dikenakan shift untuk meminimalisir pengeluaran.
Ketua Paguyuban Perajin Tahu dan Tempe Yunis Setiawan mengatakan, naiknya harga kedelai praktis berpengaruh bagi para perajin tahu dan tempe. Bahkan, produksinya tidak bisa maksimal. Dari 75-an pabrik, yang masih aktif memproduksi hanya 50-an pabrik.Bahkan, jumlah pabrik yang memproduksi tahu-tempe terus berkurang sejak kenaikan harga minyak goreng. “Misalkan kalau (pabrik) yang masih berjalan juga hitungannya untuk hasil, mungkin minus,” ujarnya.
Dia mengatakan, kenaikan harga kedelai ini sudah dirasakan sejak satu tahun yang lalu. Secara bertahap. Kenaikannya mencapai Rp 6 ribu per kilogram. Dari harga normal Rp 6.700-Rp 7.000 per kilogram. Tergantung merek.Idealnya, harga kedelai berkisar Rp 8 ribu per kilogram. Sebelumnya, sudah ada kenaikan harga kedelai menjadi Rp 12 ribu per kilogram, sejalan dengan naiknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu. Lantas, para anggota paguyuban tahu dan tempe Desa Mejing menggelar demo. Menuntut harga kedelai stabil. Tapi, tidak ada pengaruh yang sugnifikan.
Setelah BBM naik pun, harga kedelai juga ikut meningkat. Dia melanjutkan, Rp 13 ribu per kilogram menjadi harga tertinggi yang selama ini dirasakan para perajin. Bahkan, harganya diperkirakan terus naik mencapai Rp 13.500 per kilogram. “Selisih harganya cuma Rp 100 – Rp 150. Ada yang harganya Rp 12.850, ada yang Rp 12.900, dan Rp 13 ribu,” sebut Wawan.
Untuk menyiasati harga tersebut, dilakukan dengan menipiskan ukuran tahu. Upaya itu juga berpengaruh terhadap penjualan. Jika harga dinaikkan, omset yang diperoleh akan terancam turun. Mengingat konsumennya kebanyakan untuk membuat gorengan tahu isi. Jika ukuran ditipiskan, praktis para pedagang tidak bisa memberikan isian berupa sayuran.Dalam sehari, biasanya dia memproduksi sebanyak 12-13 papan dan membutuhkan sebanyak 12,5 kilogram kedelai. Jumlah tahu yang dihasilkan juga tergantung potongan. “Normalnya 12 papan. Kalau dijadikan 13 papan jadi tipis (tahunya). Kasihan juga perajin yang nyetak, soalnya harus benar-benar teliti,” bebernya.
Satu papan dihargai Rp 20 ribu di tingkat pabrik. Sebelumnya, satu papan hanya Rp 15 ribu. Naik Rp 5 ribu untuk menutup biaya produksi. Itu pun tidak memberikan keuntungan bagi para perajin.Setiap harinya, produksi tahu dan tempe di Kecamatan Candimulyo dan Tegalrejo banyak dijual ke luar daerah. 50 persen ke pasar lokal dan 50 persen di luar kota. Seperti Jogja, Wonosari, Klaten, Semarang, Purworejo. Bahkan, ada juga perajin keripik tahu yang menjual produksinya ke Jakarta hingga Brebes.
Dia melanjutkan, jika harga kedelai mencapai Rp 13.500 per kilogram, dia akan mengambil sikap untuk mengurangi karyawan. Karena tidak mendapat keuntungan yang signifikan. “Saya sebagai perajin ya harus pegang sendiri. Mungkin akan shift juga. Yang jelas pengurangan karyawan,” tegasnya. (aya/pra)