JOGJA – Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Kota Jogja kurasikan ribuan foto lawas. Dalam prosesnya, dilakukan akuisisi dan penyelamatan guna dukung penelitian. Namun baru sebagian yang telah dialihmediakan agar tersimpan lebih awet.
Sugeng Purnomo, Arsiparis DPK Kota Jogja membeberkan, tahun ini pihaknya telah menghimpun lebih dari 5.000 foto lawas. Terinci, 4.000 foto dari sekretariat DPRD dan sekitar 1.200 foto Tata Pemerintahan dan Kesra kota Jogja. “Penghitungan akumulatif akan kami lakukan akhir tahun. Tapi kemungkinan ada sekitar 27.000 foto yang saat ini kami simpan,” ujarnya ditemui di Kompleks Balai Kota Jogja, pekan lalu.
Sebanyak 27.000 foto yang terarsip itu merupakan foto positif. Setelah diakuisisi dan diselamatkan, foto-foto tersebut diberi deskripsi, dan didaftar. DPK selanjutnya mengalihmediakan foto agar dapat tersimpan lebih lama. “Saat ini sudah 12.000-an foto yang dialihmediakan. Kami masukkan ke aplikasi sentra online. Secara online, bisa diakses. Tapi akhir-akhir ini trouble karena ada permasalahan di server. Ada 10.000-an yang sudah terekspos di sana,” lontarnya.
Diungkap Sugeng, arsip paling lawas yang disimpannya berasal dari tahun 1946. Foto merupakan akuisisi dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas). “Waktu itu, kami ke ANRI dan Perpusnas tahun 2019. Kami mencari foto pembangunan monumental di Jogja,” bebernya.
Dalam pencarian itu, Sugeng menemukan sebuah foto berharga. Foto tersebut memuat potret pelucutan senjata Jepang yang dilakukan oleh pasukan RI di Jogjakarta. “Selain ANRI dan Perpusnas, kami juga ke Semarang. Di sana kami menghimpun arsip-arsip militer,” ucapnya.
Sugeng menyebut, upaya yang dilakukannya untuk mendukung penelitian di Jogja. Mengingat pula, Jogja merupakan Kota Pelajar. “Kemarin banyak dicari teman-teman mahasiswa untuk skripsi dan tesis. Memang (dibutuhkan foto, Red) untuk data pendukung penyusunan (penelitian, Red),” sebutnya.
Terpisah, Ihsan Kurniawan sempat mengaku kesulitan mengais arsip foto seni pertunjukan Jogja. Aktivitas pengumpulan arsip yang dilakukannya harus dimulai dari gerak temu senior. Untuk akhirnya dapat sampai bersinggungan dengan berbagai arsip. “Arsip yang telah lama tersimpan, tergulung dalam ruang privat,” ucapnya.
Ihsan bahkan mengaku kesulitan mengumpulkan arsip Wisnu Wardhana. Tim kurator yang dibentuknya harus datang langsung ke rumah sang mendiang. Sosok Wisnu, menurut Ihsan, cukup tersohor sekitar 1950-an. Bahkan pernah berangkat ke Amerika bersama Bagong Kussudiardja untuk mempelajari tari. Kemudian mencetuskan gaya Booming Amerika. “Tapi ketika searching namanya di Google, yang akan kita temukan adalah atlet renang,” keluhnya. (fat)