JOGJA – Dalam rangka memperingati Hari Batik Nasional, Museum Keraton Jogjakarta memunculkan wajah barunya. Dengan meluncurkan motif batik baru, yang nantinya diperuntukkan bagi para edukator museum.
Penghageng Kawedanan Nityabudaya Keraton Jogjakarta GKR Bendara mengatakan, peluncuran motif batik baru ini juga seiring dengan ditetapkannya batik sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Dan untuk menjaga kelestarian tradisi wastra. “Proses untuk menemukan motif ini lama sekali hampir setahun berkolaborasi dengan guru batik,” katanya saat peluncuran di Bale Raos Komplek Keraton Jogjakarta Minggu (2/10).
Motif batik tersebut digali dari ornamen hias flora di bangunan Keraton. Terinspirasi dari ornamen pada saka Regol Danapratapa, motif batik baru yang dinamai Motif Radyakartiyasa diciptakan dan diperuntukkan bagi para edukator museum. Motif berpola ceplok tersebut kemudian distilisasi menjadi motif menyerupai sekar atau bunga padma. Dengan harapan menjadi sumber ilmu dari setiap pemakainya. “Motif ini selaras digunakan oleh edukator museum yang bertugas untuk memandu tamu atau wisatawan, sebab mereka merupakan salah satu ujung tombak dari syiar budaya yang berasal dari Keraton,” ujarnya.
Batik dengan bahan katun seperti halnya jarik tersebut sengaja dikhususkan untuk eduktor, sehingga tidak ada duplikasinya. Setiap hari lebih dari 80 edukator di empat unit usaha di Keraton, akan menggunakan seragam dengan motif maupun warna yang sama. “Kalau yang lalu seragamnya setiap hari beda-beda motif batiknya, sekarang setiap hari mereka akan menggunakan pakaian yang sama. Warna terbaik kita pilih hijau karena merupakan ciri khas dari Keraton,” jelasnya.
Dengan demikian, bisa membedakan mana edukator yang memang resmi dari Keraton dan tidak. Bisa dilihat dari motif dan warna batiknya. Dalam kesempatan itu, Keraton Jogjakarta juga meluncurkan Katalog Digital Awisan Dalem Batik yang merupakan dokumentasi motif-motif larangan dari berbagai motif batik di keraton.
Selain bersumber dari penggalian arsip sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I, dalam katalog tersebut juga menampilkan ornamen hias batik yang berkembang dari masa ke masa. Masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai aturan motif, ornamen, hingga ukuran dari masing-masing ragam hias batik.
Perihal ukuran motif pun pada katalog tersebut divisualkan melalui vektor. Sehingga mempermudah masyarakat dalam memahami unsur-unsur stilistik yang berada pada batik khas Jogjakarta. “Nanti akan kita sosialisasikan dengan harapan bagi masyarakat di luar sana bisa mengetahui apa saja batik larangan yang tidak diizinkan dipakai saat berkunjung kepada unit usaha yang ada di dalam Keraton,” sebut Bendara.
Upaya ini, untuk membuka wawasan masyarakat bahwa batik-batik yang disebut larangan adalah batik yang sangat diapresiasi di Keraton. Dan bagian dari masterpiece art di Jogjakarta. “Sehingga harapannya nanti sudah tidak ada motif larangan yang dipakai di sepatu, alas kaki, di sesuatu yang diinjak maupun sesuatu yang di toilet,” tandasnya. (wia/eno)