JOGJA– Masalah pengelolaan Mal Malioboro dan Hotel Ibis akhirnya benar-benar dibahas di gedung DPRD DIJ. Ini terjadi saat Komisi B mengadakan rapat kerja mengupas optimalisasi aset daerah dalam rangka mendukung target pendapatan tahun anggaran (TA) 2023. Soal Mal Malioboro dan Hotel Ibis masuk dalam bahasan. Kedu aset itu dinilai berkontribusi terhadap lain-lain pendapatan asli daerah (PAD) Pemprov DIJ.
Meski terbilang aset strategis, dewan tidak pernah mengetahui adanya jalinan kerja sama antara pemprov dengan Tjia Eddy Susanto sebagai direktur utama PT Setia Mataram Tritunggal (SMT). Sejak Selasa (13/9) lalu, Tjia Eddy resmi menjadi pengelola Mal Malioboro dan Hotel Ibis. Dia menggeser kedudukan PT Yogyakarta Indah Sejahtera (YIS) sebagai pengelola sebelumnya.
“Kami tidak pernah mengetahui adanya kerja sama pengelolaan Mal Malioboro dan Hotel Ibis. Kalau sekarang eksekutif mau jalan sendiri tanpa mengajak kami bicara, silakan saja,” sindir anggota Komisi B DPRD DIJ Danang Wahyu Broto di rapat kerja Selasa (4/10).
Sindiran Danang itu disampaikan di depan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset (BPKA) DIJ Wiyos Santoso. Dengan nada tinggi, Danang mengaku tidak habis pikir dengan langkah pemprov tersebut. Mestinya sebagai mitra, pemprov berkonsultasi lebih dulu dengan dewan. Dengan begitu, pimpinan dan anggota Komisi B bisa memberikan saran serta pendapat.
“Bukan seperti sekarang, kontrak sudah ditandatangani baru ngomong,” sesalnya menahan geram. Ketua Fraksi Partai Gerindra ini bisa memahami bila bergulir gagasan membentuk pansus pengawasan Mal Malioboro dan Hotel Ibis. Fraksinya juga siap mendukung pembentukan pansus tersebut. “Kalau itu jadi pilihan terbaik, kenapa tidak,” katanya.
Anggota Komisi B Boedi Dewantoro dari Fraksi PKS mengatakan, sikap pemprov seperti telah meninggalkan dewan. Indikasinya, parlemen tak tahu dengan adanya perubahan pengelola Mal Malioboro dan Hotel Ibis. Bahkan belakangan muncul ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami karyawan Hotel Ibis. Ini sebagai buntut berubahnya manajemen dari PT YIS ke PT SMT. “Semua itu kami tidak tahu. Ini sebenarnya aneh,” sesal ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD DIJ ini.
Ketua Fraksi PAN Atmaji yang juga duduk sebagai anggota Komisi B meminta penjelasan soal badan hukum PT SMT. Dia mendapatkan informasi badan hukum perusahaan yang ditunjuk pemprov itu baru 13 hari saat kontrak kerja sama diteken. “Secara legal formal apakah tidak rentan menimbulkan masalah di kemudia hari,” ucapnya dengan nada tanya.
Atmaji juga memasalahkan tidak adanya pemberitahuan formal pemprov tentang berubahnya pengelola dari PT YIS ke PT SMT. Baginya pemberitahuan itu sangat diperlukan dewan.
Rapat kerja itu dipimpin Wakil Ketua Komisi B Suwardi. Kader Partai Golkar ini. Isu adanya PHK yang dialami sebagian karyawan Hotel Ibis mengundang perhatian Suwardi. Dia mengingatkan, uang sewa yang disetor Tjia Eddy ke kas daerah tidak ada artinya bila sampai terjadi PHK. “Apa artinya pemprov menerima miliaran rupiah kalau buntutnya ada PHK. Ada nasib karyawan dan masyarakat yang dipertaruhkan. Jangan sampai ada yang ditelantarkan,” ingatnya.
Suwardi menegaskan, bila penjelasan BPKA dipandang belum cukup tidak tertutup kemungkinan Komisi B memanggil Tjia Eddy datang ke gedung dewan. “Jika diperlukan kami undang,” tegasnya.
Menghadapi serangan itu, Wiyos mengatakan bukan tanpa dasar pemprov mempercayakan pengelolaan Mal Malioboro dan Hotel Ibis kepada Tjia Eddy. Alasannya, pengusaha kelahiran Wonosobo itu dikenal punya pengalaman mengelola pusat perbelanjaan dan hotel. Pengalaman itu seperti Plaza Ambarrukmo, Hotel Royal Ambarrukmo dan Hotel Porta di daerah Samirono, Caturtunggal, Sleman.
“Lebih baik kami menunjuk perusahaan baru tapi orang lawas (berpengalaman, Red). Ketimbang perusahaan lawas tapi orangnya tidak jelas,” kilahnya. Usai mengajukan diri sebagai pemohon, Tjia Eddy langsung merealisasikan komitmen yang disampaikan ke pemprov.
Uang sewa selama setahun langsung dibayarkan dua hari sebelum kontrak diteken. Nilainya Rp 7,65 miliar yang ditranfer ke kas daerah. Sedangkan Rp 5 miliar diberikan ke PT Anindya Mitra Internasional (AMI), salah satu BUMD milik pemprov. PT AMI memiliki sebagian tanah dan bangunan di Mal Malioboro. “Total yang disetor Rp 13 miliar,” beber Wiyos.
Mantan Inspektur DIJ itu punya perhitungan tersendiri. Kesediaan setahun menyewa, perusahaan yang dipimpin Tjia Eddy tidak bakal untung. “Rugi karena hotel sampai sekarang belum beroperasi. Beberapa yang lain masih tutup,” ungkapnya.
Wiyos menceritakan sebelum mengambil alih dari PT YIS, dirinya mengedepankan kehati-hatian. Selama enam bulan sebelum kerja sama BGS berakhir, Wiyos bolak balik mengadakan rapat koordinasi. Dia meminta ada tim appraisal yang menghitung nilai tanah dan bangunan. Dalam tim juga melibatkan Kejaksaan Tinggi DIJ. Selain itu dia kerap berkonsultasi dengan auditor BPK dan BPKP maupun Inspektorat DIJ. “Saya tidak ingin menanggung risiko sendiri,” tegas Wiyos. (kus/laz)