JOGJA – Sebagian orang tua (ortu) mulai memilih untuk meninggalkan obat sirup. Seiring dengan peningkatan kasus gagal ginjal akut pada anak. Ortu kini memilih melakukan kompres serta beri asupan cukup agar anak bertenaga kendati sakit.
Sundari, 31, mengaku pusing lantaran dua putranya sakit demam secara bersamaan. Sementara dia tidak cukup pendapatan untuk memeriksakan anak-anaknya ke dokter. “Lha musim hujan, hawane do lara (jadi gampang sakit). Sakjane mumet (aslinya pusing), tapi ya sudah ditahan-tahan ngurus anak,” ungkapnya kepada Radar Jogja Senin (24/10).
Sundari hanya menekuk wajah saat ditanya terkait pemberian obat sirup. Dia kini mengaku ragu. Terlebih kasus gagal ginjal akut telah diberitakan merenggut banyak nyawa di di berbagai daerah, termasuk dua anak di Bantul. “Anak sakit, sekarang nggak bisa dikasih obat sirup. Padahal biasanya cuma pakai itu,” sebutnya.
Ibu tiga anak itu kini hanya mengandalkan air hangat. Sundari meminta anaknya meminum air hangat tiap 30 menit sekali. Selain itu, dia memaksa anaknya untuk tetap mau makan tiga kali sehari. “Jadi yang penting, perut anakku jangan sampai kosong dan tetap hangat. Nggak pakai obat-obatan dulu,” lontarnya.
Sementara Yanti Rahayu, memilih untuk mengompres anaknya yang demam. Tapi perempuan 28 tahun ini tetap berani memberikan obat pereda demam pada buah hatinya yang berusia dua tahun. Dia mengklaim obat itu aman, karena berjenis pil. “Gak mau dia (diberi obat sirup, Red). Tak (saya) kasih obat pil maunya,” ucapnya.
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Jogja Emma Rahmi Aryani mengatakan belum ditemukan kasus gagal ginjal akut atau gangguan ginjal akut di Kota Pelajar ini. Namun, Dinkes mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 440/9275 tentang Kewaspadaan Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/AKI Pada Anak.
“Menindaklanjui surat dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan No SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan PElaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif pada Anak,” ujarnya.
Dijelaskan, peningkatan kasus gangguan ginjal akut terjadi pada anak 0-18 tahun. Namun mayoritasnya balita yaitu usia 1-5 tahun. Maka dibutuhkan upaya percepatan penanggulangannya. Antara lain dengan pelaporan kasus dari setiap fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) untuk melakukan penatalaksanaan pasien anak dengan gangguan ginjal akut.
Kasus probabel gangguan ginjal akut pada anak adalah kasus suspek ditambah tidak terdapatnya riwayat kelainan ginjal sebelumnya atau penyakit ginjal kronik, dengan disertai atau tanpa gejala prodromal. Seperti demam, diare, muntah, dan batuk pilek.
“Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan ureum kreatinin (kreatinin >1,5 kali atau naik senilai ≥0,3 mg/dL), dan pemeriksaan USG didapatkan bentuk dan ukuran ginjal normal, tidak ada kelainan seperti batu, kista, atau massa,” jabarnya.
Emma pun menyebut, tenaga kesehatan (nakes) pada fasyankes untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirup. Berlaku sampai adanya pengumuman resmi dari pemerintah pusat sesuai ketentuan dengan peraturan perundang-undangan.
“Untuk sementara waktu obat dapat dapat diberikan dalam bentuk sediaan lain seperti tablet, puyer, suppositoria, sediaan tunggal (satu jenis obat tidak dicampur dengan obat yang lain) sambil menunggu hasil penelitian dari badan penelitian dan pengembangan kesehatan,” tegasnya.
Emma menyarankan, perawatan anak sakit yang menderita demam di rumah untuk mengedepankan tatalaksana non-farmakologis atau tidak menggunakan obat-obatan. Dapat dilakukan dengan mencukupi kebutuhan cairan, kompres air hangat, dan menggunakan pakaian tipis.
Namun bila terdapat tanda-tanda sakit pada anak, terutama balita, ia menganjurkan untuk segera membawanya ke fasyankes. “Berupa gejala penurunan volume atau frekuensi urine/tidak ada urine, dengan atau tanpa demam/gejala prodromal lain,” pesannya. (fat/laz)