JOGJA – Memasuki dunia teknologi, tak banyak generasi muda yang mengenal bentuk wayang. Khususnya anak-anak, mereka lebih akrab dengan gadget, dan tokoh-tokoh kartun asal luar negeri. Hal ini menjadi keresahan tersendiribagi seniman dan budayawan yang tergabung dalam Komunitas Wayang Merdeka.
Meski baru satu tahun terbentuk, komunitas ini bertekad untuk terus mengenalkan wayang. Mereka tidak ingin, wayang menjadi tersingkirkan. “Teknologi semakin maju, bikin wayang manual ingin maju juga. Ingin melestarikan kreatifitas (wayang, Red) melalui manual,” ujar Lejar Dariartana Hukuban, Sekretaris Wayang Merdeka kepada Radar Jogja Jumat (16/12).
Aktivitasnya adalah memperkenalkan atau membuat wayang dari bahan atau barang bekas menjadi karya yang bernilai seni. Bisa dari kardus, suket atau rumput, plastik, ranting pohon, atau dari benda-benda sekitar. “Kami namakan wayang merdeka artinya merdeka tekniknya, konsepnya dan tidak terbebani dengan hal yang klasik,” ujarnya.
Artinya, pembuatan wayang tersebut tanpa adanya pakem soal wayang. Hal ini membuat anak-anak yang lebih banyak menjadi sasaran wokrhsop atau praktiknya, akan lebih mudah mengenalnya. Sehingga mengenalkan wayang, bisa dengan cara yang menyenangkan. “Selama setahun ini kami mengupayakan 1 atau 2 bulan sekali mengadakan workshop di berbagai tempat. Sasaran mulai dari anak-anak SD, SMP yang pengen dikasih pembinaan workshop termasuk untuk masyarakat umum,” bebernya.
Dengan begitu, kecintaan kepada wayang akan tumbuh jika anak-anak dan orang lain tahu cara membuatnya bisa sangat mudah dan sederhana. Sejak itu, kemudian Komunitas Wayang merdeka mengadakan workshop jalanan. Tanpa pungutan biaya, dan siapa saja boleh ikut. “Kami ingin menanamkan nilai budaya dari leluhur lewat kegiatan membuat wayang sederhana,” ucapnya.
Total, kata Lejar, sudah enam kali workshop jalanan dilakukan. Di antaranya di Titik Nol Kilometer, Alun-Alun Selatan, dan Pasar Ngasem. Selain itu, Komunitas Wayang Merdeka juga berkolaborasi dengan komunitas lain di Jogjakarta seperti Urban Farming dan Komunitas UFO Jogja. “Supaya mereka kenal lagi, ada mainan tradisional dan merangsang imajinasi. Kami ingin anak-anak kembali menemukan imajinasi berangkat dari lingkungannya. Wayang itu bisa dari apa saja dan bentuk apa saja,” tandasnya. (wia/eno)