Neutron Yogyakarta

Masjid Kauman Pertahankan Takjil Bubur Sayur

Masjid Kauman Pertahankan Takjil Bubur Sayur
KOMPAK: Masyarakat yang ikut dalam pembuatan takjil bubur sayur di Masjid Sabilurrosyad atau Masjid Kauman, Pandak, Bantul kemarin (29/3).(DOKUMENTASI TAKMIR MASJID SABILURROSYAD )

RADAR MAGELANG – Masjid Sabilurrosyad, Wijirejo, Pandak Bantul atau lebih dikenal dengan nama Masjid Kauman sampai saat ini masih mempertahankan tradisi takjil bubur sayur. Warisan Panembahan Bodho itu masih terus dilestarikan secara turun temurun oleh pengurus masjid sampai sekarang. Tak hanya sekadar makanan untuk berbuka, takjil bubur sayur ternyata juga memiliki makna tersendiri.

Takmir Masjid Kauman Hariyadi mengatakan, takjil bubur sayur selalu dihidangkan kepada para jamaah masjid sebagai hidangan untuk berbuka puasa tiap Ramadan tiba. Tradisi takjil bubur sayur menurutnya sudah ada sejak Masjid Kauman berdiri atau sekitar abad ke-16, merupakan warisan dari Panembahan Bodho atau Raden Trenggono.

Bubur sayur di masjid tersebut merupakan hidangan yang terdiri dari bubur nasi dengan sayur lodeh. Serta diberikan potongan tempe dan krecek sebagai lauk. Makanan bertekstur halus dan lembut itu dibuat secara bergotong royong oleh masyarakat Padukuhan Kauman. Pada hari-hari biasa pengurus masjid bisa menyajikan 100-200 porsi bubur sayur. Namun saat Jumat, bubur sayur yang disajikan bisa mencapai 400 porsi.

Hariyadi mengungkapkan, ada makna tersendiri di balik penyajian bubur sayur tersebut. Makna-makna itu berkaitan erat dengan penyebaran agama Islam di wilayah Wijirejo. Pertama adalah kata bubur diambil dari bibirin yang memiliki arti hal-hal bagus. Kata tersebut memiliki makna apabila takjil berupa bubur sayur lodeh, maka Masjid Kauman akan selalu diiringi hal-hal yang bagus.

Kemudian juga ada kata beber, yang memiliki maksud bahwa jamaah masjid akan diberikan atau dibeberkan nilai ajaran Islam melalui pengajian. Selain itu, bubur sayur juga memiliki makna babar yang berarti persatuan. Artinya agama Islam merupakan agama yang selalu mengedepankan persatuan tanpa memandang status sosial.

“Selain itu bubur juga bertekstur halus, hal ini mengandung makna kalau syiar Islam harus disampaikan dengan cara halus bukan dengan kekerasan. Islam harus disampaikan dengan lemah lembut,” ujar Hariyadi kepada Radar Jogja kemarin (29/3).

Lebih mengenal siapa itu Panembahan Bodho, Hariyadi menerangkan, Raden Trenggono atau Panembahan Bodho merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga. Raden Trenggono mendapat julukan Bodho atau bodoh karena enggan mewarisi jabatan sebagai Adipati Terung. Daripada mewarisi jabatan adipati itu, Panembahan Bodho lebih memilih meninggalkan sifat keduniawian dan mengembara untuk melakukan syiar agama Islam.

Meskipun demikian, dia tetap menerima julukan tersebut dengan rendah hati. Karena baginya urusan keduniaan tidak lebih penting dari urusan akhirat. Panembahan Bodho oleh Sunan Kalijaga kemudian ditugaskan untuk mengembara menyebarkan Islam di Mataram dan mendirikan masjid di Padukuhan Kauman, Wijirejo. “Masjid Kauman berdiri bersamaan atau menjelang berdirinya Kerajaan Mataram Islam,” pungkas Hariyadi. (inu/eno/sat)

Lainnya

Exit mobile version