Neutron Yogyakarta

Banyak Terjadi di Hotel Non-PHRI

Banyak Terjadi di Hotel Non-PHRI
CARI SOLUSI: Pertemuan antara KPAI Jogja dan PHRI DIJ untuk mengantisipasi ekspolitasi seksual anak terulang.(Sylvi Dewajani untuk Radar Jogja)

RADAR MAGELANG – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jogja bertemu dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIJ. Tujuannya, mengantisipasi eksploitasi seksual anak terulang lagi. Seperti yang dialami 17 anak menjadi korban persetubuhan duda berinisial BM, 56.

Ketua KPAI Jogja Sylvi Dewajani mengatakan, semua hotel yang tergabung di PHRI sudah bersepakat untuk tidak menerima prostitusi. PHRI akan menindak jika anggotanya kedapatan dengan sengaja terindikasi prostitusi anak di bawah umur. Namun, ia menyebut ada banyak hotel non-PHRI yang sering di luar kendali.

Selain itu, pertemuan kedua pihak menghasilkan pengusulan payung hukum untuk melakukan penindakan. Selain itu, adanya payung hukum untuk perlindungan anak di hotel melati non bintang. “Entah Perda ataupun Perwal. Kemungkinan Perwal, belum dibicarakan dengan wali kota untuk menindaklanjuti,” kata Sylvi saat dihubungi Radar Jogja kemarin (2/6).

Ia menjelaskan dalam pertemuannya dengan PHRI mayoritas dari pengelola hotel melati. Hotel bintang ada, tetapi hanya sebagian kecil. Hal ini karena sebagian besar hotel bintang yang beraliansi dengan jaringan manajemen internasional sudah memiliki child protection policy (CPP).

Dari pertemuan ini akan dilakukan pendampingan membuat SOP dalam kewaspadaan atas kasus kekerasan seksual anak. Sylvi menambahkan sedang diupayakan untuk memasang CCTV di lorong hotel sebagai alat pemantau. “Serta ada semacam patroli dalam waktu tertentu di lorong itu,” tambahnya.
Sylvi mengaku upaya nyata penanggulangan selanjutnya membuat sistem pelaporan dari hotel yang menemukan kejadian ke satgas terkait. Selanjutnya ditindaklanjuti dinas terkait bersama aparat penegak hukum.

Dihubungi terpisah, Ketua PHRI DIJ Deddy Pranowo Eryono tidak keberatan atas hasil usulan dari pertemuan itu. Menurutnya, setiap anggotanya sudah mempunyai SOP dalam menerima tamu. Perlu adanya regulasi pemerintah, karena aturan SOP hotel selama ini dari kementerian.

Regulasi nantinya mengatur pengunjung anak di bawah umur. Ia mengungkapkan kejadian kekerasan seksual yang ada, setelah ditelusuri terungkap kebanyakan bukan dari hotel anggota PHRI.

Ia mengklaim aksi prostitusi anak di bawah umur banyak terjadi di hotel bukan naungan PHRI. “Dia lebih banyak dengan reservasi melalui Oyo, Reddoors segala macam itu,” ujar Deddy.

Kendati begitu, Deddy menuturkan jika hal ini tidak bisa diantisipasi akan menjadi preseden buruk bagi dunia perhotelan dan destinasi di Jogja khususnya. “Makanya kami mendorong pemerintah membuat regulasi untuk melindungi,” tambahnya.

Sudah seharusnya daerah tujuan wisata jangan sampai tercemar hal-hal berkaitan prostitusi. Semua harus ditertibkan dengan adanya regulasi yang sesuai dari pemangku kepentingan di Jogja.

Deddy membeberkan, regulasi itu bisa seperti anak di bawah umur belum bisa check in hotel. Menurutnya, anggota di PHRI sudah menerapkan aturan seperti itu. “Tetapi kalau di aplikasi, reservasi lewat Reddoors atau Oyo itu kan bebas,” tuturnya.

Menurutnya, jika tidak ada regulasi kasihan pengusaha hotel yang sudah menerapkan SOP secara benar. Penerapan CCTV menjadi salah satu SOP hotel di naungan PHRI. Sehingga jika ada sesuatu kejadian bisa dapat terdeteksi.

Banyak hotel belum menjadi bagian PHRI karena untuk tergabung memiliki beberapa syarat. Misalnya, memiliki izin operasional lengkap dan memiliki sertifikasi hotel. Pihak hotel yang tidak tergabung dengan PHRI, kata Deddy, karena merasa syaratnya memberatkan. Namun ia menyebutkan sebenarnya tidak memberatkan untuk bergabung. (cr3/laz/sat)

Lainnya