Neutron Yogyakarta

Penurunan Stunting Masih Terkendala

Penurunan Stunting Masih Terkendala
MASALAH: Stunting masih menjadi masalah yang dihadapi oleh BKKBN DIJ. Penurunan stunting masih terkendala pola asuh hingga usia kehamilan dini. (GUNTUR AGA TIRTANA/RADAR JOGJA )

RADAR MAGELANG – ‎Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) DIJ menyebut kesalahan pola asuh menjadi salah satu penyebab susahnya penurunan stunting.  Bahkan karena kesalahan pola asuh tersebut, justru kasus stunting malah ditemukan pada anak yang berasal dari keluarga mampu.

Kepala BKKBN DIJ Shodiqin mengatakan, kasus stunting atau anak kurang gizi biasanya selalu melekat dengan kemiskinan. Namun dalam kenyataannya, keluarga dengan kondisi ekonomi yang kurang mampu belum tentu anaknya menderita stunting.

Dia menyebut, kalau keluarga mampu juga bisa berpotensi memiliki anak yang menderita stunting. Penyebabnya karena kesalahan pola asuh.  Contohnya anak dari keluarga mampu lebih sering dirawat oleh asisten rumah tangga (ART) atau kakek dan neneknya. Sehingga membuat asupan gizinya pun menjadi tidak maksimal.

“Biasanya kalau anak rewel kemudian hanya diberikan mainan atau gawai, namun pengasuh atau nenek lupa memberikan makan kepada anak yang diasuhnya,” beber Shodiqin di sela kegiatan Rembuk Stunting yang digelar di ruang pertemuan Kompleks Pemda 2 Manding Rabu (6/5).

Selain karena pola asuh yang salah, banyak dari kasus balita stunting juga disebabkan karena usia kehamilan yang terlalu dini hingga hamil pada usia di atas 35 tahun. Itu yang didapatkan dari hasil pendataan pendamping BKKBN DIJ pada setiap wilayah tugasnya.

Shodiqin membeberkan, dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) angka stunting di DIJ 2022  mencapai 16,4 persen. Adapun wilayah tertinggi dengan kasus stunting ada di Gunungkidul dengan 23,5 persen. Kemudian disusul Kulonprogo dengan 15,3 persen. Lalu Sleman sebesar 15 persen, Bantul 14,9 persen, dan terendah di Kota Jogja dengan angka 13,8 persen.

Khusus di Kabupaten Bantul, Shodiqin menyatakan, penurunan angka stunting mencapai empat persen.  Jumlah itu cukup besar karena pada 2021, angka stunting di Bantul mencapai 19,1 persen. Sementara 2022 bisa menurun hingga 14,9 persen.

“Harapan kami pada 2023 ini penurunannya terus berlanjut, minimal sama dengan penurunan angka stunting 2022 lalu,” katanya.

Sementara itu, Wakil Bupati Bantul yang juga bertugas sebagai Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting Kabupaten Bantul Joko Purnomo membeberkan, pada triwulan pertama tahun ini pihaknya menemukan angka stunting sebesar enam persen. Jumlah itu didapatkan dari pengukuran 47 ribu balita.

Joko pun berharap, pada tahun ini temuan angka sebesar enam persen tersebut bisa terus berlanjut sampai akhir tahun. Sehingga kemudian jumlah angka stunting sebesar 14,9 persen di tahun lalu, bisa terus menurun. Dia juga mendorong agar pemerintah kalurahan bisa memaksimalkan program pemerintah untuk menurunkan angka stunting.

“Dengan adanya anggaran per padukuhan sebesar Rp 50 juta, harapannya bisa dimanfaatkan untuk menurunkan angka stunting di setiap padukuhan yang ada di Kabupaten Bantul,” pungkasnya. (inu/eno/sat)

Lainnya