JOGJA – Reklame menjadi persoalan di Kota Jogja yang harus dipecahkan. Dari pencermatan parlemen, pengelolaan reklame dinilai belum cukup optimal. Kendalanya karena terbentur faktor regulasi. Kondisi ini yang mendorong DPRD Kota Jogja mengadakan perubahan Perda Kota Jogja No. 2 Tahun 2015 tentang Reklame.
Materi dalam perda tersebut dinilai tidak lagi relevan. Ada sejumlah hal yang harus disesuaikan. Sejak beberapa waktu lalu, dewan telah membahasnya dengan membentuk sebuah panitia khusus (pansus). Tugasnya membahas perubahan perda reklame.
“Kami membahasnya secara intensif selama enam bulan terakhir,” ujar Sekretaris Komisi A DPRD Kota Jogja Marwoto Hadi Minggu (28/8).
Dalam keanggotaan pansus, Marwoto duduk sebagai salah satu anggota. Pansus diketuai Bambang Seno Baskoro dari Fraksi Partai Golkar (FPG). Tentang hasil pembahasan, kader Partai Gerindra itu mengatakan telah selesai. Seluruh pasal telah tuntas dibahas pansus. Kini setelah disepakati dengan Tim Pemkot Jogja, materi perubahan perda dikirimkan ke Gubernur DIY guna mendapatkan evaluasi.
“Kami menunggu hasil evaluasi dari gubernur,” katanya. Nantinya evaluasi itu bakal ditindaklanjuti pansus dalam rapat kerja. Tahapan berikutnya, bila materi evaluasi cukup signifikan, pansus bakal mengadakan uji publik. Dewan mengundang masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan. “Ada dua tahapan atau tata kala yang harus kami lalui,” terangnya.
Marwoto menjelaskan, sesuai pembahasan raperda di Dewan Kota ada dua kali uji publik yang harus dilalui. Pertama, diadakan di awal rapat kerja pansus. Dewan meminta masukan dari masyarakat. Kedua, setelah dewan menerima hasil evaluasi gubernur.
Kepentingan uji publik yang kedua agar masukan masyarakat, pembahasan di pansus dan evaluasi gubernur benar-benar dapat diakomodasi. Dewan perlu melaporkan ulang kepada publik manakala hasil evaluasi terjadi perubahan dengan pembahasan di tingkat pansus.
Soal evaluasi gubernur, Marwoto menyinggung saat RAPBD Kota Jogja diajukan ke Pemprov DIY. Setiap evaluasi, gubernur selalu mengupas permasalahan aset. Gubernur merekomendasikan agar pemkot dapat mengelola aset daerah secara optimal.
Menindaklanjuti pandangan gubernur itu, wakil rakyat yang tinggal di Warungboto, Umbulharjo, Jogja, itu ingin dalam perubahan perda reklame dapat diimplementasikan. Bentuknya dengan melibatkan tim appraisal guna menilai aset milik pemkot yang bisa disewa pihak ketiga. Penilaian terkait harga sewa didasarkan atas kelas jalan di Kota Jogja. Ada tiga kelas jalan. Yakni kelas satu, kelas dua dan kelas tiga. Harga setiap kelas jalan berbeda.
“Kami ingin bidang aset bila menyelesaikan penilaian itu senyampang dengan proses evaluasi perda yang masih berjalan,” katanya. Diharapkan, laporan dari tim aset bisa diterima dewan bersamaan dengan turunnya evaluasi gubernur. Dengan demikian dapat menjadi bahan bagi dewan melangkah ke depan. Adanya penilaian yang ditetapkan dalam regulasi itu mengantisipasi terjadinya transaksi penentuan harga sewa aset daerah yang akan dipakai untuk reklame. Ini sekaligus meminimalisasi terjadinya persekongkola atau kolusi antara swasta dengan penyelenggara negara.
Tentang latar belakang perubahan perda reklame, Marwoto menyatakan ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjadi pertimbangan. Dewan memandang perlu diadakan penataan dan pengendalian reklame. Perubahan perda itu diharapkan bukan hanya memberikan manfaat dan keadilan. Namun juga ada kepastian hukum. Ini karena perda sebelumnya dinilai tidak bisa diaplikasikan di lapangan. Ada kendala menyangkut tata ruang dan izin mendirikan bangunan (IMB).
Setelah lahirnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, IMB tidak diperlukan. Sekarang berganti menjadi persetujuan bangunan gedung. Perizinan reklame dan menara telekomunikasi dikeluarkan dari persyaratan bangunan gedung. “Prinsipnya kami mengedepankan kemudahan bagi pemohon izin. Persyaratan lebih ringan dan mudah,” terang dia.
Kemudahan itu diperlukan karena reklame bukan bangunan permanen. Sewaktu-waktu dapat dibongkar karena izinnya dicabut atau kontrak dengan pemerintah daerah berakhir. Dia juga berharap setelah diundangkan, segera diiikuti dengan lahirnya peraturan wali kota yang bersifat teknis dan operasional.
Dalam persoalan reklame ini sedikitnya melibatkan enam organisasi perangkat daerah (OPD). Salah satunya menyangkut bidang pendapatan dan aset di bawah Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Yogyakarta. (kus)