BANTUL – Jemek Supardi, maestro pantomim asal Jogjakarta telah berpulang. Bapak Pantomim Indonesia ini menghembuskan napas terakhirnya Sabtu (16/7) pukul 17.30. Di mata para sahabatnya, sosok Jemek dikenal humble dan sederhana.
Suasana berkabung mengiringi jenazah Jemek Supardi di gedung Perkumpulan Urusan Kematian Jogjakarta (PUKJ), Jalan Sonopakis Wetan, Sonosewu, Ngestiharjo, Kasihan Bantul, Minggu (17/7). Berjajar karangan bunga duka ditunjukkan kepada maestro pantomim ini. Keluarga, sahabat, kerabat, seniman dan budayawan turut memanjatkan doa. Satu per satu mendekati peti jenazah sang maestro.
Duka mendalam bukan hanya dirasakan oleh keluarga. Melainkan kerabat seni dan sahabat. Dosen Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma (USD) Jogjakarta Gregorius Budi Subanar misalnya. Bagi Banar, Jemek merupakan sosok yang konsisten dengan kemauannya, menggeluti seni pantomim yang kala itu dipandang masih asing.
Semasa kecil, Jemek merupakan tetangga kampung. Jemek di Kampung Dipowinatan, dia di Keparakan, Mergangsan, Jogja. Banar menceritakan, pada 1970-1980-an, pantomim merupakan barang langka. Dan saat itu Jemek berkeliling kampung membawakan pantomimnya. Pantomim Jemek populer di kalangan anak-anak, tetapi asing.
“Pantomim itu dunia seni yang asing, dia (Jemek, Red) sangat setia, single fighter sejak 1980-an saat itu,” ungkap Banar saat ditemui di PUKJ, kemarin (17/7).
Karena kesibukan pekerjaan membuat keduanya jarang berjumpa. Pada 2000 ketika ia kembali dari menyelesaikan studi di Bali, tercengang sekaligus kagum kepada Jemek yang masih konsisten menggeluti dunia seni pantomim. Bahkan kala itu dia berkesempatan menulis pesta emas sang maestro pantomim tersebut. Tepatnya, 2003. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Indonesia Prancis (LIP).
Banar pun salut dengan teman beda kampung ini, karena berkat kekonsistenannya menggeluti pantomim Jemek memiliki murid. “Kesetiaan, kesederhanaan bahkan manggung secara sederhana seperti itu sudah siap. Pernah suatu ketika di Universitas Sanata Darma menggelar seminar internasional untuk difabel. Saya tanya ada hiburannya nggak ini, saya langsung pakai sepeda motor menjemputnya memberitahukan ‘mas, untuk difabel itu dadahnya gini lho mas tangannya diangkat terus digoncang-goncangkan’. Itu saja, dia langsung siap,” kenangnya.
Pada sebuah perhelatan internasional, sosok Jemek langsung siap. Kehebatan, kesederhanaan, dan spontanitas, itulah Jemek.
Demikian juga di mata sahabat sejawat sekaligus teman satu RT Kampung Dipowinatan, Suhajoso Sk. Suhajoso mengungkapkan aktif di dunia teater, dia dan Jemek kerap dipertemukan salam satu panggung. Sosoknya yang loyal dan teguh dalam menjalani profesinya melekat kuat pada pribadi Jemek. Di matanya, Jemek merupakan sosok yang bertanggung jawab terhadap pilihannya.
Suhajoso mengaku mengenal baik pribadi Jemek. Di balik kepiawaiannya dalam berpantomim, Jemek memiliki masalah dengan hafalan dan kemampuan bertutur kata. Sehingga, memilih berteater tanpa kata. Karena lebih nyaman.
“Kalau di Jakarta ada Seno, di Jogja ada Pak Jemek. Ini gurunya sama, Pak Wisnu Wardhana. Kalau penerusnya, Broto Wijayanto,” tuturnya. Jemek dikenal dengan pantomimnya, menyuarakan ketimpangan sosial masyarakat dan dekat dengan difabel. Menyuarakan kata, bagi difabel yang notabene kaum minor.
Jemek menghembuskan napas terakhirnya pada usia 69 tahun di kediaman anaknya, Kasihan, Bantul. Sebelum meninggal, Jemek sempat dilarikan ke RS Panti Rapih Jogja, tiga minggu lalu. Jemek mengalami sakit infeksi paru-paru. Pada pukul 13.00 jenazah Jemek dibawa untuk dimakamkan di Makam Seniman Imogiri. (mel/laz)