SLEMAN – Meski telah menjadi anggota DPRD Sleman, Suryono masih tetap menekuni profesi lamanya sebagai bong supit. Lalu, bagaimana dia membagi waktu antara dirinya sebagai tukang sunat dengan posisi wakil rakyat?
Warga Sleman, khususnya di Kapanewon Mlati tentu mengenal bong supit Suryono. Puluhan tahun menjadi tukang sunat, siapa yang menyangka kini ia juga duduk di Komisi A DPRD Sleman.
Kepada Radar Jogja, pemilik jargon “ora lara, ora lara” yang merupakan lulusan D3 keperawatan ini mengaku tetap menyunat. Meskipun sibuk menjadi anggota dewan, bagi pria 58 tahun ini, menyunat sudah mendarah daging dalam hidupnya.
“Terus, bagaimana pun tetap nyunat,” ujarnya saat ditemui baru-baru ini (25/7). Suryonpo menceritakan, awal mula membuka bong supit yakni tahun 1990. Pada saat itu, profesi bong supit bisa dilakukan oleh siapa saja. Bahkan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan dan ilmu kesehatan yang relevan.
“Waktu itu juru supit tidak dilakukan tenaga medis. Misalnya pegawai Kemenag, guru, dan profesi yang tidak relevan saja bisa jadi juru khitan. Kenapa kita seorang paramedis kok tidak mempelajari hal itu,” jelas bapak tiga anak ini.
Keprihatinan itu membuat Suryono membuka klinik supit dan bisa dibilang sukses. Pada saat itu, orangtuanya juga mendukung kegiatan yang ia lakukan. Asalkan pekerjaan yang dia pilih halal dan tidak merugikan orang lain.
Hingga saat ini, sudah ribuan anak telah ia sunat. Segudang pengalaman baik, buruk hingga terlucu pernah ia alami. Pengalaman terlucu dulu saat ada pasien umur 80 tahun yang mau berangkat haji tapi belum sunat.
“Nah ke rumah saya pakai celana pendek. Saya suruh masuk, ternyata ingin sunat. Padahal berangkat hajinya tinggal satu minggu, makanya tidak saya jahit kuat,” ujarnya sambil terkekeh.
Dia mengaku bersyukur selalu dimudahkan saat mengkhitan anak. “Alhamdulillah yang namanya sunat dimudahkan. Belum ada sunat lalu mengalami infeksi, pasti sembuh,” lanjutnya.
Salah satu faktor yang membuatnya dikenal hingga luar kota adalah metode hipnotis yang dipelajari dengan tekun. Suryono adalah orang pertama yang melakukan metode itu di DIJ. Belum marak seperti sekarang.
“Sebetulnya mempengaruhi pola pikir anak dari takut menjadi tidak takut atau memang bisa buat tidur. Memang tidak semua peserta kita hipnotis,” jelas warga Seyegan, Sleman, ini.
Suryono kemudian menceritakan keputusannya mengambil jalur politik. Menurutnya, penting bagi seseorang untuk terjun ke dunia politik. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan-kebijakan yang ada di Indonesia dihasilkan melalui jalur politik.
“Pembangunan, sosial, apa pun politik. Kalau kita yang berpotensi tidak mau terjun ke politik, ya kita akan dikuasai oleh politik. Makanya mari kita ikut terjun politik agar bisa memberikan kontribusi ke politik itu, baik pembangunan, kesejahteraan dan lain-lain,” papar alumni SMPN 1 Sleman lulusan 1984 ini. (laz)