SLEMAN – “Sembilan puluh persen penduduk di tempat kami mayoritas bertani. Lahan pertanian masih luas. Ini kesempatan kami belajar banyak hal tentang pertanian di Jogja, untuk merawat cangkul tua kami di NTT,” ungkap Gaga Sallo, 38, salah seorang petani milenial Nusa Tenggara Timur (NTT) Nusantara Jogjakarta.
Basah kuyup, bermandikan keringat, sudah menjadi hal biasa saat petani milenial Nusantara Jogjakarta ini berjibaku menggarap lahannya. Secangkul demi secangkul, mereka menggerus lahan hendak dijadikan bedengan dan parit. Kulit gelapnya semakin mengkilat ketika diguyur terik. Inilah semangat mereka, berupaya merawat cangkul tua untuk masa depan lebih baik di wilayahnya, NTT.
“Menguras tenaga untuk bertani seperti ini sudah biasa,” ungkap Gaga Sallo ketika disambangi Radar Jogja di lahan pertanian petani milenial NTT Nusantara Jogjakarta, Kalurahan Sinduadi, Mlati, Sleman, belum lama ini.
Gaga tidak sendirian. Dia bersama delapan warga NTT dan satu orang asal Pati, Jawa Tengah, menggarap lahan pertanian ini. Tidak main-main, luasan lahannya mencapai satu hektare. Lahan ini disewa dari tanah kas desa (TKD) Sinduadi. Nantinya, keseluruhan hendak ditanami cabai.
Setelah lahan dibajak dengan traktor, kemudian proses pembuatan bedengan dilakukan keseluruhan warga NTT. Nah, warga asal Pati lebih menggagas konsep petanian. Misalnya membuat pupuk, mengatasi hama dan upaya menghasilkan produk pertanian yang berkualitas.
Dia menjelaskan, merawat cangkul tua yang dimaksudkan adalah bagaimana membangun semangat anak muda untuk bertani demi kemajuan dan kesejahteraan pertanian. Utamanya di lingkungan tempat tinggal NTT, yang mayoritas bekerja sebagai petani.
“Kami menilai petani di NTT sudah banyak yang tua. Kami ingin merawat cangkul tua, melahirkan atau regenerasi baru. Salah satunya dengan membentuk petani milenial NTT Nusantara Jogjakarta,” jelas Gaga yang juga berprofesi sebagai jurnalis ini.
Epivianus Melkior Timu, 24, petani milenial asal NTT lainnya menceritakan, petani milenial NTT Nusantara Jogjakarta ini dibentuk tiga tahun lalu. Hingga kini anggotanya berjumlah 10 orang. Mereka memiliki latar belakang pendidikan berbeda-beda. Sebagian besar telah lulus dan sebagian kecil masih mengenyam pendidikan tinggi.
Di antara mereka ada yang menekuni bidang keilmuan komunikasi, psikologi, kehutanan, pertanian, dan lainnya. Ada yang berkuliah di Institut Pertanian Jogjakarta, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) dan kampus swasta lainnya. “Semua bersatu, siapa saja yang ingin belajar menjadi petani muda dapat bergabung,” ungkap Epi, sapaannya.
Awal 2020 mereka menjajal bertani. Awalnya hanya menyewa sedikit tanah bengkok (tanah desa) kalurahan. Kemudian ditanami cabai rawit. Perawatan cabai tertangani dengan baik, sehingga hasilnya cukup memuaskan. Di tengah sulitnya kondisi diguncang pandemi Covid-19, justru membawa berkah tersendiri bagi petani milenial ini. Karena saat itu pertanian tidak begitu terdampak.
Kendati demikian, sejumlah eksperimen penanaman lahan telah dilakukan. Selain cabai, menanam terong, mentimun, juga bawang merah telah dilakoni. Dari sejumlah tanaman itu, menenam cabai dinilai jauh menjanjikan. Apalagi peluang ekonominya lebih mudah di atur. “Mencari waktu yang tepat. Pas masa panen cabai, saat harga sedang tinggi-tingginya,” ujarnya.
Upaya penanganan hama maupun patek pada tanaman cabai berhasil dilakukan dengan penggunàn obat racikan sendiri dari kelompok petani milenial. Kemudian diaplikasikan pada tanaman. “Hasilnya lumayan. Cabai terhindar dari patek,” sebutnya.
Pada pola tanam terakhir, sebut dia, satu pohon minimal produksi sekitar setengah kilogram. Sementara totalnya ada 10 ribu pohon. Dengan masa panen sekitar lima bulan dari penanaman awal. Sekali tanam, 25 kali petik.
Tujuan bertani ini selain untuk mendukung dari segi ekonomi pertanian, juga wadah bagi petani milenial, khususnya NTT. Pada pemberitaan belakangan ini, warga perantau asal NTT membuat ketidaknyamanan masyarakat. “Saya ingin meluruskan, tidak semua warga NTT keras dan bikin onar. Nyatanya masih ada yang memandang dengan sisi lain seperti kami ini petani mileneal,” tambah Gaga, menyahut.
Banyak hal yang ingin dia sampaikan dengan adanya kegiatan positif manfaat bertani ini. “Kami ingin orang muda terjun bertani, menjadi agen restorasi. Petani milenial bukan hanya NTT saja, melainkan untuk Nusantara Indonesia,” tandasnya. (laz)