JOGJA – KAUM milenial tidak boleh terpenjara gadget. Setidaknya hal itu dibuktikan Desty Pujilestari, 30, warga Karangwuluh, Temon, Kulonprogo. Sebagai generasi muda, ia sukses mengelola banyak usaha dan aktif berorganisasi.
“Karena menutup diri dan terlalu tergantung dengan gadget jelas bukan pilihan bijak. Meskipun gadget juga sangat membantu untuk pengembangan usaha,” ucap putri ragil dari tiga bersaudara pasangan Suharyadi dan Sri Pujiastuti ini, Jumat (16/9).
Desty sapaan akrabnya adalah pribadi yang patuh mengikuti kemauan dan arahan kedua orang tuanya untuk menjadi bidan. Namun apa mau dikata, selesai sekolah kebidanan (D3) ia justru lebih sukses membidani banyak usaha, diantaranya usaha kuliner, pertanian, bahkan pertambangan dan konstruksi.
“Ya seperti umumnya orang tua dulu, anak perempuan disekolahkan di kebidanan, kedokteran atau pendidikan, kelak menjadi bidan, dokter atau guru dengan jaminan hari tua (pensiun) yang menjanjikan. Namun ternyata itu tidak sesuai dengan passion saya,” ucapnya.
Desty lebih suka mencoba hal-hal baru, meskipun kedua kakaknya sudah sukses dan mapan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ia juga tidak menyangkal menjadi bidan adalah pilihan dan pekerjaan mulia. Namun ia berhasil membuktikan kepada orang tua, sukses mengembangkan usaha, Ia juga tersiksa aktif berorganisasi.
Setidaknya hal itu dibuktikan sebagai Bendahara Perkumpulan Perempuan Wirausaha (Periwra) Kabupaten Kulonprogo, Bendahara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kulonprogo. Terakhir juga menjadi Ketua BPEK DPC PDI Perjuangan Kulonprogo yang konsern terhadap nasib UMKM, Pertanian dan Pariwisata.
“Saya sepakat sukses usaha itu konsisten dengan satu usaha dan harus ditekuni, kuliner saya ada rumah makan, produksi makanan olahan sego berkat pare anom, ada juga stik growol, pengalengan olahan tempe benguk untuk ekspor,” ucapnya.
Jika kemudian ada usaha lainya, itu tidak terlepas dari kejelian Desty yang juga memiliki sikap tak mau diam itu. Ia selalu mencoba hal baru dan cermat dalam menangkap peluang. Perempuan terjun di usaha pertambangan (tanah urug) dan konstruksi mungkin terlalu maskulin, tetapi ia tetap jalani sejalan dengan pembangunan YIA kala itu.
Bidang pertanian, ia juga mengikuti tren porang. Ia memiliki lahan budidaya porang, belum lagi sejumlah usaha lainnya yang dia sebut sebagai sebuah peluang yang sayang jika tidak ditangkap dan lepas begitu saja. Bisa terbuka wawasan dan mampu membaca peluang itu juga dampak positif pergaulan.
“Banyak teman yang usianya di atas saya. Bahkan sebagian itu teman ibu, saya dapat inspirasi. Terbuka wawasan dan pemikiran sehingga memiliki pandangan jauh ke depan,” katanya.
Dikatakan, semua bisa dipelajari secara otodidak. Semua hal baru dan positif sekaligus prospektif akhirnya berhasil direalisasikan. Alhasil orang tua yang menginginkan Desty menjadi tenaga kesehatan berbalik 180 derajat menerima dan mendukung penuh pilihannya terjun berwirausaha.
“Semua otodidak. Kuliner saya update resepnya, latih tetangga ibu-ibu yang usianya di atas 40 tahun bikin sego berkat mereka jago. Tanah urug juga bukan bidangnya, saya belajar bagaimana mengurus izin, operasi, produksi semua jalan dan sambil belajar,” ujarnya.
Jatuh bangun dalam merintis usaha itu hal biasa. Tertipu juga tidak harus menjadi kapok, sulit memasarkan jangan kemudian menyerah, sewa alat berat malah jatuhnya namun minimal bisa kenal dengan mereka yang lebih berpengalaman. Link dengan rekanan lain juga perusahaan BUMN terbuka.
“Ya awalnya hanya proyek lokal dan kadang tidak untung. Namun ketika mereka ada proyek di luar, akhirnya info ke saya. Itu kehebatan link dan kuncinya tidak boleh bosan belajar dan bergaul,” tegasnya. (tom/bah)