JOGJA – Sudah banyak yang tahu jika mantan Ratu Tenis Indonesia Yayuk Basuki berasal dari Jogjakarta. Tapi tak banyak yang tahu perjuangannya untuk Jogjakarta. termasuk untuk tiga medali emas dalam multievent PON terakhir yang diikutinya 1996 lalu.
Pengorbannya itu baru dikisahkan 26 tahun berselang. Yayuk baru mau berbagi kisahnya saat memperoleh emas terakhir untuk DIJ dalam PON. Yaitu panggilan khusus dari Raja Keraton Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X untuk pulang. Padahal saat itu, secara bersamaan Yayuk sedang mengikuti grand slam US Open di New York. Dia mendapat panggilan untuk pulang karena bersamaan dengan PON 1996 di Jakarta. “Waktu itu belum ada WhatsApp, kalau kontak lewat faksimile atau telepon langsung,” kenangnya, Senin (26/9).
Permintaan yang sulit ditolaknya. Karena sesuai dengan komitmen ayahnya kepada Sri Sultan HB X supaya Yayuk tetap membela DIJ dalam PON. Keputusan kontroversial pun diambilnya. Dia memutuskan untuk mengalah dalam pertandingan US Grand Slam demi pulang membela DIJ di PON. “Karena tidak bisa bersamaan, perjalanan pulang New York-Jakarta saja dua hari,” tuturnya.
Keputusan itu pun disembunyikannya selama ini. Karena akan menjadi bahan bully-an. Meskipun begitu tak ada penyesalan. Karena dia sengaja melakukannya demi orang tuanya. Juga mengangkat marwah DIJ. Daerah asalnya. “Kalau dipikir ya rodo gendeng, tapi bagaimanapun saya mendengarkan ayah saya. Juga kebetulan PON terakhir saya, yang ditutup dengan tiga emas,” ucapnya bangga.
Hal itu sengaja diceritakannya untuk memantik semangat atlet lokal DIJ. Yayuk perihatin dengan prestasi olahraga DIJ. Apalagi dalam pekan olahraga nasional (PON) terakhir di Papua 2021 lalu delapan medali emas, 12 perak, dan 18 perunggu. Padahal dulu bisa bersaing dengan big four Jakarta, Jabar, Jateng atau Jatim. “Bahkan sekarang kalah dengan Bali, Jogja yang kota majemuk seperti ini masak tidak bisa,” ujarnya mengenang masa lalu.
Terkait hal itu, Yayuk mengaku sudah membicarakan dengan pengurus cabor maupun KONI DIJ. Hasilnya? Wanita kelahiran 30 November 1970 itu menyebut klise,”Kendala klasik dana.”
Kondisi itu ditemuinya langsung di DIJ. Yayuk menyebut saat pra-PON lalu ada atlet tenis muda DIJ yang sebetulnya lolos PON tapi tidak diberangkatkan. Saat ditanyakan alasannya, pengurus menjawab mahalnya biaya dan kans untuk menang.
Hal itu pula yang membuat beberapa atlet berprestasi akhirnya hijrah ke daerah lain. Karena kurangnya anggaran pembinaan, seperti untuk latihan atau bertanding. “Bahkan ada yang terang-terangan menyarankan atletnya mutasi ke daerah lain,” tuturnya.
Terkait mutasi atlet, Yayuk mengaku sudah menjadi pembahasan dalam rakernas KONI. Bahkan dia berani ‘menyerang’ Gubernur Jawa Timur yang memposting keberhasilan atlet mutasi yang meraih emas untuk Jatim. “Saya komentari, ‘Bu lebih bagus jika bisa membina atlet sendiri hingga juara, anggaranya juga lebih murah,” kenangnya.
Yayuk mengakui praktik seperti itu sudah lazim sejak lama. Dia sendiri jadi salah satu yang dirayu untuk pindah dari DIJ. Bahkan sejak 1980-an. Dia menyebut iming-iming dari beberapa provinsi hingga Rp 5 juta. “Saat itu kurs dolar masih Rp 300-an, harga mobil juga masih Rp 2,5 juta,” jelasnya.
Perempuan yang pernah duduk jadi anggota DPR ini pun berpesan kepada para atlet muda untuk memiliki mindset sebagai juara. Dengan menjadi juara, hal yang diinginkan pun bisa diwujudkan. Itu dibuktikannya. Baik dari bonus maupun lainnya.”Semua orang yang ingin cari uang, tapi dengan jadi juara, uang akan datang dengan sendirinya,” pesannya.
Pemilik nama asli Nany Rahayu Basuki itu menyebut sudah mewakili DIJ di cabang tenis sejak PON 1981 di Jakarta. Termasuk empat PON berikutnya. Hingga yang terakhir di PON Jakarta 1996. Dalam PON terakhir yang diikutinya tersebut, Yayuk menyumbangkan tiga medali emas dari cabang tenis. “Dari beregu, perseorangan dan ganda,” tuturnya.(pra)