JOGJA – Kondisi terbatas tak lantas membuat bocah kelas 6 SD ini putus asa. Hidup dikelilingi orang yang notabene jauh di atasnya, justru membuatnya semakin bersemangat meraih cita-cita. Namanya Kholilurrahman, penderita Cerebral Palsy (CP) yang berprestasi dan mendapat hadiah kursi roda dari Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
“Mak, tamune wis teka (Mak, tamunya sudah datang, Red),” seru seorang anak yang tengah asyik bermain ponsel, sembari memegang kendang jimbe versi kecil. Ia duduk tenang di depan pintu. Mengenakan sarung dan kaus hitam. Beralaskan tikar berwarna hijau.
Juga ada anak lain yang juga sibuk bermain ponsel. Mereka memang kerap menemaninya bersantai di teras rumah. Terutama saat hari libur atau selepas sekolah. Sedangkan sang ibu, tengah membuat pesanan berupa jajanan basah.
Kholilurrahman atau yang akrab disapa Maman, ruang geraknya terbatas lantaran mengidap Cerebral Palsy (CP). Penyakit ini merupakan gangguan tumbuh kembang yang paling umum menyerang anak-anak.
Sang ibu, Khoiriyah, 44 menceritakan, Maman lahir prematur dengan usia kandungan enam bulan. Beratnya hanya 14 ons. Ia menjalani proses kelahiran di rumah. Lantaran prematur, Maman dirujuk ke rumah sakit dengan perawatan hingga 23 hari.
Selama perawatan itu, Maman bukannya membaik, justru berat badannya kian menyusut. Keluarga pun memutuskan untuk membawanya pulang. Bahkan perkembangannya bagus. Tapi, pada usia 50 hari, Maman terkena penyakit hernia.
Khoiriyah lantas membawanya ke rumah sakit. Dokter justru bilang anaknya mengidap CP yang membuatnya harus dioperasi. Sementara almarhum sang ayah, tak tega membiarkan anaknya dioperasi. Kemudian mereka berembuk dan akhirnya membawa Maman pulang ke rumah.
Kemudian mereka mencari pengobatan alternatif selama setengah tahun. Hal itu sebagai upaya keluarga agar sang buah hati tidak bergantung pada obat-obatan rumah sakit. “Alhamdulillah sembuh,” ujarnya, saat ditemui di rumahnya, Bintaro RT 1/RW 12, Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Sabtu (8/10).
Hingga usia delapan bulan, Maman memiliki berat badan yang normal, yakni tujuh kilogram. Tapi, suatu hari, dia mengalami demam tinggi. Tumbuh kembangnya kembali terhambat. Kondisi ini terus bertahan hingga sang anak menginjak usia 1,5 tahun.
Saat itu Maman mengalami kejang. Sang ibu membawanya ke rumah sakit. Hanya membaik selama bebrapa saat saja. Lantas, dia membawa sang anak ke daerah Secang untuk terapi. Berangkat pukul 06.00 dengan naik bus. Kegiatan itu rutin dilakukannya selama 1,5 tahun. Namun, belum ada perkembangan yang signifikan.
Hampir putus asa dengan keadaan Maman yang tak kunjung membaik, Khoiriyah beralih membawanya ke pengobatan alternatif lain di Dusun Kolokendang, Desa Ngawen, Muntilan. “Alhamdulillah bisa tengkurap. Hingga disekolakan ke TK dan bisa mengikuti dengan baik,” bebernya sembari berkaca-kaca.
Saat memasuki sekolah dasar pun, Maman bisa mengikuti dengan baik. Setiap harinya ia selalu bangun pukul 05.00. Beribadah, lalu mandi dengan air dingin. Kadang dibantu sang ibu, kadang melakukannya sendiri. Setelah itu, dia bersiap berangkat sekolah. Jarak dari rumah ke sekolahnya sekitar 500 meter. Sang ibu akan mengantar dan pulang begitu Maman sudah berada di kelas.
Kemudian akan menjemput Maman saat jam pulang sekolah. Sang anak bersiap-siap berangkat ke sekolah diniah pukul 14.00-16.30, yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya. Kadang tidak langsung berangkat. Melainkan bersantai terlebih dahulu untuk melepas penat.
Selepas itu, Maman pergi ke pondok untuk mengaji Alquran hingga Maghrib tiba. Dilanjut pergi ke musala, mengaji lagi, dan baru pulang setelah salat Isya. Dengan kondisi itu, sang ibu dengan legawa mengantar-jemput Maman ke sekolah dan ke tempat ngaji. Mengayuh sepeda ontel yang dimodifikasi sedemikian rupa. Digendong hingga ke bangkunya.
Rutinitas ini berjalan hingga sekarang. Setelah sang ayah meninggal saat Maman kelas satu, Khoiriyah semakin banting tulang untuk menghidupi anak-anaknya. Dengan berjualan jajanan basah. Seperti tahu bakso, martabak, dan lain-lain. Dititipkan ke warung-warung. Kadang juga menerima pesanan partai besar.
Bersyukur, ada orang yang memberinya sepeda motor saat kelas tiga. Sehingga, tidak kesulitan lagi mengantar-jemput Maman. “Dikasih motor sama orang setelah ayahnya meninggal itu. Sepeda ontelnya sudah tidak terpakai, ke mana-mana sekarang pakai motor. Saya modifikasi sendiri,” katanya.
Maman sudah memakai kaca mata sejak duduk di TK. Saat itu, ia diminta sang guru membaca tulisan di papan tulis. Tapi, dia bilang tidak bisa membacanya. Guru itu lantas menutup gorden, barangkali silau. Namun hasilnya sama. Maman tidak bisa melihat dengan baik. Lalu, dilaporkan kepada sang ibu. Saat diperiksa, ternyata sudah minus 4 dan silinder 3.
Pada Minggu (2/10), Maman mengikuti lomba tahfiz juz amma dari An-Naas hingga An-Naba’ tingkat Kabupaten Magelang. Saking antusiasnya, seminggu sebelum lomba berlangsung, Maman kurang enak badan. “Tapi, sekolah diniahnya tetap masuk, meskipun masuk angin. Hafalannya pun masih kurang banyak,” ungkap ibu dua anak ini.
Pembina Forum Madrasah Diniah Takmiliah (FKDT) Kabupaten Magelang Gunadi Yusuf menceritakan, saat mengikuti lomba itu dia melihat Maman lewat di sampingnya. Ia juga berhasil menyabet juara 3. Lantas, terlintas dalam benaknya untuk meminta bantuan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Kemudian, Gunadi meminta izin Maman dan sang ibu untuk memfoto yang bersangkutan dan dikirim ke Ganjar. “Barangkali Pak Ganjar merespons. Bahkan, saat itu juga saya dapat balasan, ‘oke dibawa ke sini’. Tapi, karena tidak memungkinkan, saya bilang untuk membawanya keesokan hari,” jelasnya.
Rombongan pun berangkat pukul 06.00. Namun saat di perjalanan, Maman mabuk darat. Baju batik yang dikenakan terkena muntahannya. Alhasil, dia hanya memakai kaus bergambar sepakbola andalan Magelang. Karena saat itu, Maman tengah menjalani puasa Senin. Padahal, sebelumnya sudah diberi tahu untuk tidak berpuasa terlebih dahulu. Tapi, ia kekeh bertahan.
Saat di Kantor Gubernur Jawa Tengah, ternyata ada seorang ustaz yang ikut bertemu dan memakai kursi roda listrik. Maman yang ditawari oleh Ganjar, ingin model seperti apa, lantas menunjuk kursi roda yang dipakai ustaz itu. Maman pun mencoba untuk kali pertama dan mengaku nyaman. Kemudian, Ganjar menyetujuinya.
Ia menilai, Maman merupakan sosok yang ramah dan berprestasi. Bahkan, Maman bisa menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya. Terlebih, kata Gunadi, Maman kerap duduk di samping orang yang usianya jauh di atas dia saat Jumatan. “Sering ngobrol sama orang tua yang umurnya 40-an sampai 60-an. Bahkan, mereka ketawa bareng. Membuat yang lain juga terhibur dengan Maman,” timpalnya.
Maman memang sudah terbiasa menjalani puasa Senin dan Kamis. Rutinitas itu berlangsung sejak kelas empat atas keinginannya sendiri. Bahkan, saat TK, Khoiriyah menuturkan, Maman sudah mengikuti puasa Ramadan. Sang ayah pun membiarkan, hitung-hitung belajar rutin berpuasa.
Selain rutin berpuasa, Maman juga tidak pernah absen menabung. Uang jajan yang tersisa, diberikan kepada sang ibu. Sejak kelas satu. Bahkan, uang hasil tabungan itu mengantarkannya ikut berkurban dengan nilai Rp 3,5 juta.
“Kali pertama mau kurban, dia bilang gini, ‘mak, bapak wis kurban durung?’, saya jawab, ‘selama sama mamak belum, nggak tau kalau dulu,’ terus dia bilang ‘aku pisanan iki arep kurbanke bapak disik,’ gitu,” jelasnya.
Tak hanya sang ibu yang merasa terharu, panitia yang menerima uang tersebut sampai menangis. Selain karena uang yang disetorkan Rp 2.000-an dan Rp 5.000-an, tapi karena anak sekecil itu memiliki niat mulia untuk berkurban.
Saat ditanya, Maman memiliki 24 teman dalam satu kelas. Meski terkadang di-bully, dia mengaku tidak masalah dengan hal itu. Sudah terbiasa. Namun banyak juga yang ingin berteman dengannya. Sedangkan untuk mata pelajaran yang disukai, kata dia, semuanya suka. Tapi, nilai yang paling bagus yakni agama.
Maman mengaku senang lantaran mendapat kursi roda dari Ganjar. Ia berharap, dengan adanya kursi itu dapat meningkatkan semangat untuk belajar. Karena dia belum pernah menaiki kursi roda. “Saya mendoakan Pak Ganjar, semoga panjang umur dan selamat dunia akhirat,” ucapnya terbata-bata.
Nantinya, bocah kelahiran 14 Maret 2010 ini, ingin melanjutkan pendidikan ke SMPN 3 Muntilan. Karena ramah terhadap difabel dan menyediakan fasilitas khusus. Suatu saat nantia ia bercita-cita menjadi ustad. Agar bisa menyampaikan apa yang telah dipelajarinya selama ini. Sungguh mulia cita-citanya. (laz)