Neutron Yogyakarta

Dulu Penuh Sampah, Kini Jadi Tempat Wisata

Ladon Little Island Angkat Ekonomi Warga
Dulu Penuh Sampah, Kini Jadi Tempat Wisata
MOLEK: Landon Little Island (LLI), objek wisata yang dikembangkkan warga Dusun Sangen, Candirejo, Borobudur, Kabupaten Magelang, (27/9).( foto-foto: MEITIKA CANDRA LANTIVA/RADAR JOGJA )

RADAR JOGJA – Jika dipandang dari puncak Perbukitan Menoreh menyerupai pulau berbentuk letter U. Sementara dari dekat, cukup menarik. Berpasir hitam layaknya pasir di Parangtritis, Bantul. Itulah keindahan Ladon Little Island (LLI) yang dikenal sebagai “pantainya” Magelang.

Inilah Dusun Sangen, Candirejo, Borobudur, Kabupaten Magelang yang mendadak viral di media sosial (medsos) dua bulan terakhir ini. Dikelilingi Sungai Progo dan tempuran Sungai Elo, ditambah latar belakang Perbukitan Menoreh di sisi selatan, lokasi ini mampu menarik kunjungan wisata.

Oleh sebab itu, warga setempat mengembangkan lokasi ini, sebagai  wisata alternatif di Desa Wisata Candirejo. “Ini inisiatif pemuda kampung. Idenya sudah tahun lalu, tapi realisasinya baru ahir Juli tahun ini,” ucap Ketua Ladon Little Island (LLI) Sukatman kepada Radar Jogja Minggu (27/9).

Dinamai Ladon Little Island dikarenakan daratan ini layaknya pulau kecil yang dikelilingi sungai. Sedangkan kata ladon merupakan istilah tanah bekas banjir lahan dingin dari gunung berapi. Ladon berupa pasir berwarna hitam dan sedikit bersinar jika terpapar terik.

Layaknya pasir pantai, mirip pasir Pantai Parangtritis. Ladon, konon sebutan orang zaman dulu. “Intinya kami ingin menarik imajinasi pengunjung. Seolah-olah ke sini itu menikmati pantai di pinggir pulau,”  ucapnya terkekeh.

Lokasi sengaja dibuat untuk pengembangan pariwisata. Setidaknya, selama pandemi Covid-19 warga dapat mendulang penghasilan dari kampungnya. Tak butuh waktu lama untuk persiapan membuka wisata ini. Kata Sukatman, berlangsung kurang dari sebulan.

Seluruh warga hingga jajaran desa terlibat. Semua bersemangat, gotong royong membersihkan lokasi ini. Pengembangan lokasi mengandalkan dana dari jimpitan dusun setempat, Rp 500 per hari.

Dulu lokasi ini hanya ditumbuhi ilalang dan tumpukan sampah dari sungai. Saat ini sudah tampak bersih dan lengkap dengan fasilitas musala dan toilet. Di sekitarnya juga terdapat lahan aktif milik warga. Saat musim hujan biasa ditanami sayur-sayuran, tapi jika musim kemarau kebanyakan ditanami singkong.

Tak hanya menyuguhkan keindahan alam, lokasi ini juga menyajikan wisata ekstrem dan aneka kuliner. Yaitu berkuda dan menyisir Sungai Progo menggunakan perahu kano. Sedangkan kulinernya bervariatif. Mulai jajanan minuman cendol, batagor, sempol, hingga makanan berat, nasi goreng dan geprekan.

Lalu ada pula aneka kerajinan dan busana fesyen ala pantai. Ada pula yang jual hasil kebun berupa pepaya dan sayuran. Terbukti jika hari libur wisata ini dongkrak pendapatan di atas Rp 10 juta dari tiket masuk seharga Rp 3 ribu dan Rp 2 ribu untuk parkir. “Itu belum yang menyewa perahu, kuda dan pendapatan dari kuliner,” ujarnya.

Objek wisata ini dibuka dengan penerapan protokol kesehatan. Mulai dari wajib mengenakan masker, mengukur suhu badan, membatasi jumlah penumpang perahu kano, menyediakan area cuci tangan hingga pemberlakuan jalan satu arah.

Dia berharap upaya ini dapat membantu menggerakkan roda perekonomian warga dari dampak pandemi. Sebab, tidak sedikit warga yang kehilangan penghasilan selama pandemi.

Warga sekitar, Bambang mengaku turut terbantu adanya pengembangan wisata di lokasi ini. Kuda yang biasa untuk menarik delman, kini disewakan menjadi kuda tunggangan. “Lumayanlah untuk penghasilan. Sebab, musim seperti ini sepi penumpang. Sebagian wisata masih tutup,” ujarnya. (mel/laz)

Lainnya