RADAR MAGELANG – Satu lagi penganan khas Kebumen yang wajib dicoba bagi para maniak kuliner. Yaitu kethek. Dari segi nama memang terkesan aneh. Tapi siapa sangka, kuliner tradisional ini tetap eksis di tengah pilihan menu kuliner kekinian.
Kethek, bukan diambil dari penamaan hewan seperti masyarakat Jawa menyebut kera atau monyet. Bukan pula jenis kuliner yang berkaitan langsung dengan kera. Tapi begitulah masyarakat Kebumen menyebutnya. Terdengar seolah tak lazim. “Nggak tahu, dari dulu namanya itu. Saya juga cuma nerusin usaha orang tua,” kata penjual kethek, Jamaludin Jumat (27/10).
Kudapan lezat satu ini memiliki nilai eksklusif tersendiri bagi masyarakat. Terlebih kini kethek sudah jarang ditemui di pasaran. Kondisi ini akibat minimnya regenerasi di kalangan pembuat kethek. “Satu tum (bungkus) Rp 2.000. Murah meriah, tapi buatnya telaten minta ampun,” warga Desa Pekuwon, Karanganyar ini.
Baca Juga: Tanpa Komisioner KPU Kebumen, Tahapan Pemilu 2024 Tetap Berjalan
Harga murah dengan proses produksi cukup panjang menjadi faktor sebagian masyarakat enggan membuat kethek. “Dari mbah saya sudah buat kethek. Resep turun temurun sampai sekarang saya jualan sudah 13 tahun,” terusnya.
Kethek terbuat dari bahan utama ampas minyak kelapa atau blondo dan ikan teri. Kemudian dikukus bersamaan tumis bumbu rempah. Seperti kencur, lengkuas, jahe, garam, cabai, bawang putih dan bawang merah. “Pakai ampas virgin coconut oil (VCO). Diolah lagi campur bumbu,” ungkapnya.
Dari segi cita rasa kethek dominan dengan rasa gurih, pedas, dan asin. Selain aroma harum karena terbungkus daun pisang, kuliner ini begitu menggugah selera dengan kandungan minyak nabati. “Tanpa pengawet, dua hari masih bisa dimakan,” jelasnya.
Kethek biasa disajikan masyarakat Kebumen sebagai menu andalan sarapan pagi. Biasanya kethek menjadi makanan pelengkap ketika menyantap getuk atau oyek dan tempe. “Setiap hari saya jual 50 bungkus habis. Kebanyakan dibeli orang kantor,” bebernya. (fid/eno)